#1 Your Trusted Business Partner

[Ngopini] Protagonis Perempuan Itu Keren!

Andi Taharudin

Ada kalanya dulu, saya tidak suka protagonis perempuan, apalagi anime yang temanya all-girls. Mungkin ada beberapa pengecualian, tetapi secara umumnya begitu. Protagonis harus laki-laki.

Titik. No nego.  

Pemikiranku sederhana. saya laki-laki, jadi harus nonton yang karakter utamanya laki-laki juga. Keberadaan protagonis laki-laki saja, seperti sudah menggaransi kalau cerita akan dibawa ke preferensi saya sebagai laki-laki. Tentu saja, genre harem termasuk salah satunya. Ya, laki-laki mana yang tidak terpacu fantasinya kalau nonton anime dengan segudang perempuan cantik secara cuma-cuma, nempel ke protagonis laki-laki?

Self-insert harga mati.

Alhasil, mau seumum apa pun cerita sebuah anime seinen (pada waktu itu, genre yang jadi meta anime adaptasi novel ringan adalah sekolah, aksi, harem), kalau protagonisnya laki-laki otomatis bakal saya tonton dan ikuti. Apalagi genre harem, ceweknya segudang. Memilih waifu adalah wajib hukumnya. Namun, pada suatu titik, semua itu berubah.

Anime moe dengan segala protagonis perempuan DENGAN TANPA KARAKTER COWOK DI TENGAH CIRCLE kemudian jadi lebih dekat dengan saya. Titik baliknya adalah tugas esai saya saat masih duduk di bangku kuliah, saya secara sengaja mengangkat Hanayamata untuk menjadi objek bahasan. Pada Hanayamata, saya jatuh hati sehingga mengubah persepsi. Karena bukan hanya sekadar sebagai anime “menenangkan”, tetapi juga menyajikan karakter-karakter yang memikat. Selain cantik, mereka kuat, pemberani, dan juga mandiri. Bahkan, tidak (banyak) dibantu karakter laki-laki pun mereka mampu mewujudkan mimpinya. 

Setelah itu, seiring berjalannya tahun, ketertarikanku pada karakter perempuan yang kuat makin meroket. saya membuang ego maskulin lama itu, hanya untuk menikmati betapa berwarnanya protagonis perempuan dibanding sebatas “heroine” atau “sidekick” protagonis laki-laki semata.

Kuat, Cantik, JUGA Merdeka

Ada satu hal yang sekarang kusesalkan dari anime-anime lawas (terutama genre aksi, sekolah, harem) yang saya sukai dulu. Mereka menampilkan “fighting girls” berlatar belakang unggul secara kekuatan, atau punya posisi, atau berperingkat bagus di sekolah. Semua latar belakang karakter tersebut sangatlah sempurna untuk membuatnya menjadi seorang “perempuan kuat”, menjadikannya mandiri, serta menaikkan “harga jualnya”. 

Sayangnya, semua itu lenyap ketika berhadapan dengan protagonis laki-laki. Mereka seketika menjadi lemah, seolah harus dan selalu mendapat perlindungan dari protagonis laki-laki. Kadang ada yang bisa melawan dan mengimbangi musuh, tapi di saat akhir tetap harus ditolong oleh protagonis laki-laki yang melancarkan serangan pamungkas dan menyudahi laga. Ketergantungan terlihat jelas dari mereka. Ini belum bahas soal mereka yang tidak sengaja dikit-dikit dipegang-pegang oleh protagonis laki-laki, loh.

Semua “nilai plus” itu terasa hambar ketika dibandingkan dengan Onda “Non-chan” Nozomi atau Arte. Mungkin memang tidak bisa mengangkat pedang kayak perempuan “fighting girls” di atas. Akan tetapi mereka malah lebih pemberani dan kuat untuk melawan semua batasan terutama yang berkaitan dengan gender. Arte melawan “takdir perempuan hanya sebagai pengantin” dalam kasta sosialnya untuk mengejar cita-cita menjadi seorang pelukis, sementara Non-chan menarasikan sisi lain sepak bola wanita selain fakta bahwa dia pernah bermain untuk tim laki-laki semasa SMP. Sekalipun secara fisik Non-chan kalah, determinasinya malah terlihat lebih berapi-api dibandingkan pemain laki-laki yang melihat sepak bola sebagai taken for granted.

Latar belakang keduanya teroptimalisasi dengan baik sehingga mempertahankan kesan kuat, bahkan membuat mereka terlihat tangguh, dan tahan banting. Bahkan, tidak jarang mereka menjadi sumber inspirasi dan kekaguman perempuan lain dalam cerita. Di atas semua itu, mereka tetaplah karakter-karakter yang cantik dan nggak overmasculine seperti yang sering ditemui di karakter cewek komik/animasi barat baru-baru ini. Ini menunjukkan bahwa “kuatnya” seorang karakter perempuan tidak selalu soal bagaimana dia bisa bertarung. Bagaimana mereka bisa berdikari adalah salah satu kekuatan tersebut.

Girls’ Power!

“Girls’ power” terlihat lebih jelas ketika karakter perempuan menjadi karakter utama. Mendapatkan perhatian besar yang diperoleh protagonis perempuan membuat kita bisa menjadi lebih peka terhadap perkembangan karakter dan determinasi mereka. Lucunya, hal ini lebih sering ditemukan di anime moe atau girl’s club, seperti yang pernah dibahas di salah satu video Under The Scope. Kanal YouTube tersebut bahkan berpendapat bahwa hal itu adalah salah satu nilai feminisme.   

Walau mungkin mereka tidak selalu berotot dan cenderung cantik, manis, dan pintar bersolek, tetapi di sisi lain mereka bisa melakukan semuanya sendiri, dan berjuang sendiri tanpa harus dibantu—terutama laki-laki. Semua itu hanya demi mewujudkan tujuan atau mimpi-mimpi. 

Coba saja lihat anime-anime seperti Koisuru Asteroid, Kohinata Mira dan Manaka Ao bersama-sama bersumpah untuk menemukan asteroid yang kelak akan mereka namai “Ao”. Siapa yang mendukung mereka? Teman-teman serta guru perempuan mereka di klub! Mereka dapat berdaya dan mendapatkan kekuatan karena dukungan sesama perempuan. Kasus yang mirip-mirip turut terjadi pada Hanayamata, Comic Girls, dan beberapa manga dari majalah manga Kirara lainnya. 

Memang mereka tidak bisa bertarung, tetapi saling mendukung satu sama lain yang membuat wacana feminisme lebih kental mereka bawakan. Mereka juga terlihat lebih bebas berekspresi dan menunjukkan kecintaan terhadap aktivitas yang disukai. Mereka bukanlah trofi yang protagonis laki-laki harus menangkan saat berhadapan dengan antagonis, dan malah para pemenang itu sendiri. Pemenang dalam kehidupan mereka. Menang dari ketidakberdayaan dan juga belenggu yang membuat mereka tak bisa maju dengan tangan dan kaki sendiri. 

Kemenangan tersebut sering kali menjadi barang yang mahal bagi “heroine” yang kodratnya cuma jadi “bagian dari harem” protagonis laki-laki. Keadaan itu sangatlah kontras dengan berbagai protagonis perempuan yang tetap terlihat setara dan saling melengkapi karakter laki-laki yang jadi duetnya.     

Penutup  

Contoh-contoh “perempuan kuat” di sini memang bukan yang tipe mengangkat senjata. Walaupun sebenarnya, karakter-karakter perempuan kuat, bersenjata, serta menggunakan kekuatan super jumlahnya sangat banyak dari Elaina, Menou, Yuuki Yuuna, Vivy, Akame, Yona, Hatori Chise, dan masih banyak lagi. Mereka bahkan bisa terlihat sama kuat dan berdeterminasi seperti protagonis laki-laki saat mencoba melindungi apa yang mereka sayangi. Ya, mereka tak hanya mencoba melindungi mimpi diri sendiri, tetapi juga melindungi orang lain dengan kekuatan mereka. Sesuatu yang sebenarnya sangatlah maskulin, tetapi tak lupa juga dengan feminitas mereka.       

Alasan contoh-contoh di dua poin sebelumnya sebenarnya bertujuan menunjukkan bahwa “kekuatan” itu tidak selalu soal angkat senjata, terlebih untuk karakter perempuan. Melawan batasan gender seperti Non-chan dan Arte, menggapai cita-cita seperti Mira dan Ao, termasuk ke dalam bentuk dari menunjukkan “kekuatan”.

Dua hal tersebut sering kali dilihat sebelah mata ketika kita sudah terlanjur bias mengidentikkan “kekuatan” dengan “kemampuan untuk bertarung secara fisik” seperti dalam cerita aksi shounen atau seinen. Misal, dalam anime Sora no Wo To, kekuatan diplomasi dan juga alunan trompet yang digawangi kelima protagonis perempuanlah yang mengakhiri perseteruan fisik dan kontak senjata di antara kedua belah pihak yang berseteru.  

Akhir kata, rasanya terlalu naif bila menutup sebelah mata saat melihat protagonis perempuan. Malah kurasa, seharusnya mata kita dibuka selebar-lebarnya ketika melihat protagonis perempuan. Karena sebenarnya, banyak hal yang mereka kandung sehingga harus kita cek dengan seksama untuk memahami mereka sejelas-jelasnya.      

Oh, iya. Lucunya, karena menyadari hal ini jugalah sekarang saya agak malas mengeklaim waifu. Saya lebih suka melihat mereka mekar ketika “tanpa saya”. Mengapa? Karena esensi waifu adalah kita ikut menumbuhkembangkan mereka hingga “mekar”. Kalau bisa mekar sendiri, bukankah melihat mereka dari “kacamata orang tua” lebih menarik?

Protagonis perempuan itu keren!

Ditulis oleh laki-laki, 21 April 2022.

Sumber: Rizki Maulana (Facebook)

Bagikan:

[addtoany]

Related Post

Leave a Comment

Butuh informasi lebih lanjut atau ingin berdiskusi dengan tim KANAU?