KANAU
Home Manga Corner Webcomic Corner Review: The God of Highschool, Hype yang Tidak Worth

Review: The God of Highschool, Hype yang Tidak Worth

Klik gambar untuk mendapatkan informasi umum anime terkait.

Mumpung musim gugur di tahun 2020 ini belum usai, maka saya akan memberikan sebuah ulasan anime dari musim sebelumnya. Satu judul yang hype banget sewaktu pengumuman adaptasi anime-nya keluar yang memang sudah sangat diwanti-wanti sekali oleh para penikmatnya. Seperti yang sudah kalian baca dan lihat, anime yang saya maksud adalah God of Highschool.

Sebagian besar dari kalian mungkin sudah tahu kalau anime ini diadaptasi berdasarkan webtoon terkenal dengan judul yang sama. Ditulis dan digambar oleh Yongje Park sedari tahun 2011, yang lalu mendapatkan terjemahan bahasa Inggris pada 2014 dan masuk ke Webtoon Indonesia setahun setelahnya. Selain bentuk digital yang terbit di platform Webtoon, God of Highschool juga sudah mendapatkan cetakan fisik yang diterbitkan oleh ImageFrame. Tidak lupa ada adaptasi mobile game dengan animasi original dan soundtrack ikoniknya “Fly to High” yang terkenal itu dan masih saya ingat sampai saat ini.

Animasi original untuk adaptasi mobile game God of Highschool.

Saya sendiri merupakan penikmat dan fans dari serial webtoon karangan Yongje Park ini dan saya masih mengikuti perkembangan ceritanya sampai ulasan ini dipublikasikan. Rasa kagum akan ide liar yang dibawakan dan dituangkan kedalamnya sewaktu pertama kali membaca webtoon ini masih ada dalam ingatan saya. Tidak hanya menawarkan aksi dan fantasi namun juga pendalaman karakter yang masih terasa sangat solid di awal cerita, sebuah rasa dimana seakan saya sedang membaca sebuah manga shounen tapi versi Korea Selatan. Lalu bagaimana dengan anime-nya sendiri yang digarap oleh MAPPA, apakah semua hal itu ada didalamnya?


Visual — 7.6/10


Visual dalam adaptasi ini memang dieksekusi dengan bagus dan maksimal namun saya tidak punya alasan untuk mengagungkannya. Karena sulit bagi saya untuk menikmatinya setelah dibawa lebih jauh lagi oleh seri yang satu ini. Memang para animator MAPPA berhasil menghadirkan visual yang identik dengan sumber aslinya, ditambah animasi genuine yang selalu diusahakan untuk hadir di setiap episode. Bahkan pada beberapa adegan, mereka berhasil memberikan suguhan seni yang menawan, memukau dan memuaskan. Itu semua memang sudah bisa dijadikan alasan yang cukup untuk memberikan cap bagus kepada aspek ini.

Walaupun begitu bagi saya hal itu bukanlah sesuatu yang bisa dibesar-besarkan, karena saya tidak merasakan apapun dari situ selain hanya kekaguman sesaat yang lalu sirna. Diawal memang berhasil menjadi suatu hal menarik yang bisa ditawarkan oleh MAPPA sendiri. Apalagi kalau kalian menilik balik layarnya dimana memperlihatkan penggunaan teknologi motion capture yang membuat pekerjaan rotoscoping dapat menghasilkan sequence yang lebih konsisten. Namun semakin kesini seiring dengan berjalannya episode, hal itu menjadi semakin membosankan karena hanya menjadi pengulangan yang terus menerus. Membuat saya tidak bisa merasakan kepuasan dari jerih payah para animatornya yang harusnya bisa lebih saya apresiasi.


Karakter — 4/10


Karakter dalam anime ini merupakan aspek yang paling gagal dan paling parah dari keseluruhan anime-nya sendiri. Yang bahkan lebih tragis daripada kisah cinta Rem dan nasib Subaru dalam serial Re: Zero. Semua desain karakter dalam anime ini sudah ditangani dengan baik oleh Manabu Akita selaku desainer karakter, namun sepertinya kerja kerasnya tidak berlaku untuk Mu Jin Park. Karakter yang seharusnya memberikan kesan sangar dan berkharisma sejak pertama kali debut malah terlihat seperti kutub buku kurang tidur yang bertingkah sok edgy. Belum lagi ditambah parah oleh akting Daisuke Namikawa dalam arahan Kisuke Koizumi yang ancur-ancuran.

Akting yang terasa kagok tidak luwes yang sudah jelas tidak memberikan kesan natural dan tidak terlihat menyatu dengan karakter yang diperankan. Bukan hanya Daisuke dengan perannya sebagai Mu Jin, namun semua pelakon profesional disini aktingnya sangat tidak bagus dibawah arahan Kisuke Koizumi selaku sound director. Masih ditambahi masalah karakter yang memiliki banyak ketidakjelasan dalam penulisan, identitas dan development mereka. Sebenarnya hal tersebut sudah diberikan dengan lumayan jelas, namun saya merasa kalau itu tidak cukup untuk membentuk karakternya. Yang akhirnya menghasilkan produk karakter yang tidak lain hanyalah sebuah cangkang polos kosong tanpa isi.

Masih ada masalah lagi dari aspek karakter yang menurut saya cukup krusial dalam membangun cerita God of Highschool ini. Cerita yang berfokus kepada tindakan yang diambil oleh karakter di dalamnya malah menghilangkan beberapa karakter yang memiliki peran tersebut. Bukan menghilangkan dalam artian sebenarnya, mereka mengubah peran dan sifat karakter yang mana membuatnya tidak bisa dipakai lagi karena sudah tidak relevan. Menurut saya itu merupakan tindakan yang sama saja berarti menghancurkan karakter dan bahkan ceritanya sendiri.


Konten — 5/10


Saya mungkin masih bisa memaklumi semua perubahan yang dilakukan guna memangkas durasi cerita agar muat diadaptasikan kedalam tiga belas episode. Memang mengemas seratus dua belas chapter kedalam hanya tiga belas episode itu bukan perkara yang mudah, namun saya jelas tidak bisa setuju begitu saja dengan apa yang sudah dilakukan disini. Eksekusi yang menyedihkan dan payah untuk penulisan naskah, penyusunan komposisi dan storytelling dalam adaptasi ini, belum lagi masih ditambah masalah karakter tadi. Saya bahkan sampai tidak punya kata-kata untuk menggambarkan betapa kesalnya diri saya terhadap hal-hal tadi.

Saya sempat berpikir kalau ini lebih baik daripada adaptasi Infinite Dendrogram namun ternyata tidak juga, penulis naskahnya lebih cermat tapi tidak menghasilkan sesuatu yang lebih baik. Storytelling-nya sendiri terbilang cukup rapih dan masih bisa dipahami tapi repot juga kalau fasenya berjalan secepat hilangnya harapan saat melihat hasil gacha. Akibat dari fase yang berjalan dengan amat cepat tersebut menambah kesengsaraan yang sudah dialami ceritanya, juga meruntuhkan semua semua set up yang coba dibangun dan dijalankan didalamnya. Sekali lagi kasus yang terjadi kepada aspek karakter tadi menjadi salah satu contoh set up yang runtuh karena hal ini, tapi masih ada lagi yang bertanggung jawab atas hancurnya karakter yang berefek kepada hancurnya cerita.

Yaitu adalah si komposisi dari seri ini sendiri yang menjadi tanggung jawab seorang Kiyoko Yoshimura. Saya tidak tahu bagaimana rekam jejak beliau yang sebelumnya, yang jelas yang dilakukan oleh beliau disini merupakan sebuah kegagalan. Komposisi yang diracik malah menghancurkan keseimbangan yang seharusnya ada dan terjaga. Membuang konten yang tidak hanya menjadi daya tarik utama namun juga panggung untuk menggapai resolusi para karakternya adalah hal paling menjijikkan yang pernah saya pikirkan dan lihat. Berusaha memakai cara lain namun pada akhirnya tetap gagal karena memang sudah salah sejak awal. Untuk apa memberi sebuah pertunjukan drama seorang Han Dae Wi kalau pada akhirnya karakter tersebut sendiri tidak memberikan kontribusi apapun setelahnya. Bahkan dia sampai harus mengorbankan porsi milik karakter lain termasuk sang karakter utama hanya untuk itu.

Dan mereka berharap bisa menaikan tensi dengan hal itu padahal sudah sangat jelas kalau fase ceritanya sangat tidak mendukung. Dengan begini komposisi sudah tumbang sepenuhnya bersama fase cerita dan naskahnya yang ikut menyeret karakter yang menjadi “kehidupan” dari cerita ini. Kalau saya adalah seorang penjahat dalam cerita shounen saya akan menganggap ini sebagai rantai kehancuran yang indah, dimana mereka saling seret satu sama lain. Sungguh kawanan yang solid sekali, sampai saat jatuh dan hancur pun mereka tetap bersama. Tapi setidaknya dengan semua kehancuran itu saya masih mendapatkan akhir yang masih cukup baik dan layak untuk dikonsumsi.


Audio — 7/10


Audio adalah hal kedua yang tidak terseret rantai kehancuran tadi selain visual yang sudah saya bahas diawal. Tidak banyak yang bisa saya bahas mengenai yang satu ini karena saya tidak mendapatkan detail yang cukup. Saya hanya bisa memperhatikan satu dua adegan sebagai pembanding untuk melakukan penilaian. Efek suara yang digunakan dalam semua aksi yang ada di anime ini sudah pas, bukan yang terlalu mahal dan mewah tapi juga tidak terdengar seperti efek suara standar yang biasa dibeli pemula, bisa dibilang so so lah. Penempatan setiap efek suaranya juga sudah tepat hanya saja menurut saja sedikit terlalu hiperbolis.

Saya juga cukup menyukai gubahan-gubahan musik latar yang disajikan dalam adaptasi yang satu ini. Tidak hanya menyajikan musik elektronik yang klop dengan aksinya yang selalu dinamis namun juga membawakan sesuatu yang terasa etnikal dan spiritual. Karena memang konsep dari ceritanya yang menggunakan referensi dari banyak budaya dan kepercayaan di dunia, saya rasa memasukan musik bergaya etnik dan spiritual adalah sesuatu yang pas. Sayangnya musik yang seperti itu cukup jarang digunakan karena masalah komposisi yang kacau tadi. Lalu untuk masalah skoring sendiri menurut saya standar, sama seperti efek suaranya, bukan yang mewah tapi tidak buruk juga.

Pembuka yang dibawakan oleh KSUKE bersama Tyler Carter memang terdengar banger tapi itu hanya diawal saja, setidaknya bagi saya. Saya juga ingin memberikan sebuah pujian sebenarnya, tapi setelah saya pikir-pikir lagi saya tidak ingin melakukannya karena saya dikecewakan oleh ekspektasi saya terhadap lagu berjudul “Contradiction” tersebut. Memang earworm tapi komposisi dan aransemennya selalu sama bahkan untuk versi penuhnya. Bayangkan kalian mendengarkan bagian yang sama berulang-ulang dengan semua jedag-jedug disana dan disini tanpa ada perubahan atau improvisasi yang membuatnya jadi membosankan. Tapi kalau dilihat sebagai lagu tema pembuka, lagu ini memang cocok dengan konten utama anime ini yaitu animasinya yang sangat ditonjolkan.

Untuk penutupnya dibawakan oleh boy group asal Korea Selatan, CIX— dimana lagunya dibawakan dalam versi bahasa Inggris. Dengan pelafalan yang jauh lebih baik dan lebih nyaman daripada orang Jepang. “WIN” sendiri memang rasanya seperti sebuah soda lemon segar yang asam dan menggigit namun tidaklah berat untuk diminum ditengah teriknya mentari. Cukup berbeda dari konsep lagu K-Pop yang sering muncul ke permukaan, lagu ini terasa lebih western di telinga saya jadi saya merasa cukup oke dengan yang satu ini.


Overall — 5.9/10


Saya akan menganalogikan ini seperti sebuah buku tulis dalam masa kecil saya. Biasanya sampul buku tulis selalu dibuat semenarik mungkin agar orang tertarik untuk membelinya, tentu mengesampingkan fungsinya. Dengan sampul keren yang saya lihat, saya berharap buku tersebut memiliki isi yang sama kerennya. Namun kita semua tahu kalau yang namanya buku tulis dari dulu tidak ada isinya, kosong. Disisi lain bukunya terjual karena sampulnya yang menarik, dengan sekali lagi mengesampingkan fungsinya. Saya sudah berusaha memandang positif adaptasi ini, sayangnya pandangan positif itu tidak lain hanyalah fatamorgana bagi saya. Kurang lebih seperti itulah pandangan saya terhadap God of Highschool secara adaptasi kalau kalian bertanya.

Kalau sebagai anime yang berdiri sendiri? Memang cukup seru karena tertolong dengan kejutan yang diberikan juga dengan aksi yang sangat disukai oleh penikmat awam. Apalagi dengan karakter utama yang mampu menghajar siapapun dan memiliki kesan lucu pasti lebih dekat lagi kepada penonton awam. Tapi saya rasa se-awam apapun orangnya mereka tetap akan menyadari keanehan yang ada pada plot dari anime ini. Semua lubang yang sudah saya sebutkan tadi memang sudah susah untuk ditutupi.

Comment
Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ad

Bagikan: