[Review] Fullmetal Alchemist: The Revenge of Scar: Masih Serupa Baju Zirah Tanpa Jiwa

Kanau.org – Fullmetal Alchemist punya segudang karakter-karakter menarik. Dua di antaranya adalah Scar dan Ling Yao. Scar adalah villain kompleks dengan ideologi dan motif yang kuat. Banyak orang telah dibunuh, tapi dia bukan sosok jahat. Perbuatannya disebabkan oleh masa lalunya yang tragis. Ada alasan rasional di balik tindakannya, tapi kita juga tidak diajak membenarkan. Nantinya Scar dibuat mempertanyakan ulang segala motif dan tujuannya, menuntunnya menapaki proses perkembangan karakter yang mengubahnya menjadi sosok anti-hero. Ling Yao tak kalah menarik, khususnya saat kelak bersatu dengan salah satu homonculus, Greed. Terjalin sebuah ikatan unik yang juga mengubah sosoknya menjadi anti-hero dengan ambiguitas moral.
Film kedua dari trilogi live action Fullmetal Alchemist ini jadi pintu untuk memperkenalkan mereka berdua. Seperti yang tertera dalam subjudulnya, kisah Fullmetal Alchemist: The Revenge of Scar berpusat pada Scar (Mackenyu), seorang Ishvalan yang mengincar para Alkemis Negara untuk dibunuh, termasuk dua bersaudara Edward Elric (Ryosuke Yamada) & Alphonse Elric (disuarakan oleh Atomu Mizuishi). Di sisi lain, ada Ling Yao (Keisuke Watanabe) bersama dua pengawalnya, Lan Fan (Yuina Kuroshima) dan Fu (Toshio Kakei), yang datang ke Amestris untuk mencari Batu Filsuf guna menyibak rahasia hidup abadi.
Salah satu yang membuat Scar dicintai banyak penggemar Fullmetal Alchemist adalah perkembangan karakternya dari seorang villain (yang tampak) keji menjadi sesosok anti-hero yang membantu protagonisnya menggulingkan kekuasaan King Bradley. Proses itu berjalan lemah di sini. Filmnya hanya memperlihatkan masa lalu Scar tanpa diolah dengan layak. Ketimbang upaya agar penonton bisa lebih memahami hati dan alasan balas dendamnya, flashback hanya terasa seperti obligasi untuk menyertakan backstory. Sebatas visualisasi mentah. Proses ketika Scar mempertanyakan lagi motif dan perbuatannya nyaris tak ada. Alhasil perubahan karakternya terasa instan dan tak meyakinkan.
Pun penampilan Mackenyu tidak membantu. Betul bahwa Scar (most of the time) hanya memperlihatkan satu jenis ekspresi, yaitu raut wajah keras yang diliputi amarah dan dendam. Sepanjang film, Mackenyu juga cuma menunjukkan satu ekspresi. Tapi alih-alih ekspresi keras yang diliputi amarah dan dendam, sang aktor lebih tampak seperti remaja bad boy yang cuek dan dingin. Saya tidak bisa merasakan api amarah di dalam dirinya. Datar. Sedatar penyutradaraan Fumihiko Sori.
Fullmetal Alchemist: The Revenge of Scar cukup setia terhadap sumber aslinya. Tapi itu saja tidak cukup. Butuh lebih dari sekadar “setia” untuk menghidupkan masterpiece macam Fullmetal Alchemist. Kemampuan olah adegan, sentivitas dan kreativitas dibutuhkan untuk menjauhkan filmnya dari sebatas imitasi belaka. Fumihiko Sori tampak belum menguasai semua itu. Sang sutradara sekadar memvisualisasikan gambar demi gambar tanpa pernah benar-benar menangkap rasa dan jiwa sumbernya. The Revenge of Scar, sebagaimana film pertamanya, masih serupa baju zirah tanpa jiwa. Kosong.
Kembali membicarakan karakter. Perkenalan Ling Yao di film ini masih lebih berkesan daripada Scar. Tak seperti Mackenyu, Watanabe cocok memerankan Ling. Sosoknya menyenangkan, juga bisa terlihat tangguh, seperti yang diharapkan dari calon pangeran negeri Xing. Sang aktor terlihat menikmati menjalani perannya. Komplain saya hanya satu, kurangnya porsi aksi Ling Yao bersama dua pengawal kerennya, Lan Fan dan Fu. Di tengah pertarungan-pertarungan alkimia berbasis CGI, filmnya butuh variasi laga. Aksi pedang ketiga pendekar tersebut menyediakan alternatif. Sayang filmnya kurang memberikan ruang bagi mereka untuk beraksi.
Banyak karakter menarik yang kurang mendapat porsi tampil memadai. Selain Lan Fan dan Fu, beberapa homonculus juga tak banyak mendapat kesempatan unjuk gigi, khususnya Gluttony (Shinji Uchiyama). Padahal, Uchiyama berhasil memperlihatkan sisi creepy Gluttony. Selain Sloth (tidak muncul dalam versi live action-nya), Gluttony adalah homunculus yang terlihat paling monstrous. Perilaku dan gerak-geriknya menakutkan, apalagi bila ikut membicarakan kekuatan “mulutnya”. Di sini, kekuatan si Rakus cuma disokong CGI dan efek praktikal seadanya, menahannya untuk tampil lebih mengerikan. Tapi tak masalah, terpenting keanehan dan kejanggalan Gluttony berhasil direalisasikan oleh Uchiyama.
CGI filmnya memang tampak belum matang. Beberapa efek visual, contohnya seperti dalam satu adegan yang berhubungan dengan “rel kereta”, tampil cukup apik. Tapi lebih sering, CGI-nya terlihat kartunis, terutama dalam sekuen aksi kala karakter-karakternya menggunakan kekuatan alkimia. Kurang solidnya CGI membuat rentetan adegan laganya menjadi tak meyakinkan. Belum lagi, pemakaian banyak jump cuts dan penempatan kamera yang kurang mampu memaksimalkan koreografi semakin melemahkan itu. Hal ini membuat saya mengkhawatirkan nasib film terakhirnya, yang bila setia mengikuti sumbernya, bakal banyak diisi momen-momen pertarungan epik.