Kanau.org – Gokigenyou Kanauzen budiman! Siapa disini yang sudah menonton live action One Piece? Menurut Kanauzen di sini, bagaimana impresinya? Apakah bagus?
Jika dilihat dari rating di IMDb dan Rotten Tomatoes dengan nilai diatas 8, bisa dikatakan memang bagus, ya. Beberapa fanspage dan media pop juga menyebutkan kalau live action One Piece ini berhasil mematahkan teori bahwa live action adaptasi anime selalu gagal.
Lantas, bagaimana sebuah adaptasi live action dari manga atau anime bisa dikatakan gagal? Yuk, kita simak rangkumannya berikut ini!
Adaptasi yang Terlalu Jauh
Live action sering kali diproduksi dalam format layar lebar atau sinema. Mau tidak mau, sutradara perlu memikirkan bagaimana cerita yang diadaptasi dapat muat hanya dengan durasi kurang dari dua jam.
Jika cerita yang diadaptasi cukup panjang, terpaksa sutradara perlu memangkas beberapa bagian dari cerita. Sutradara akan memangkas mulai dari karakter, plot cerita, serta scene yang bisa ditampilkan. Bahkan, tidak jarang ada bagian yang cukup penting ikut terpangkas.
Karena pemangkasan ini, kita yang menonton adaptasi live action tidak jarang menemukan keganjilan dalam ceritanya. Plot hole yang cukup besar akan mengganggu penonton. Tidak hanya dari penggemar lama judul yang diadaptasi, tetapi juga penonton baru. Akibatnya, kualitas dari adaptasi live action tersebut menjadi buruk di mata penggemar lama dan gagal menggaet penggemar baru. Sebagai contoh, adaptasi dari Gantz yang terlalu dikompres untuk menyamai versi animenya sehingga gagal memberikan perkembangan karakter di dalamnya .
Adaptasi yang Menggantung
Selain memotong bagian-bagian di dalam cerita, sutradara juga dapat melakukan adaptasi sebagian saja dari keseluruhan cerita. Sutradara dapat mengadaptasi satu arc atau mengambil salah satu peristiwa saja di dalam ceritanya. Hanya saja, cara ini bisa dikatakan pertaruhan yang cukup berisiko. Hasil produksinya dapat memberikan rasa penasaran akan produksi berikutnya atau malah mengecewakan mereka karena menggantung.
Baca juga: Mengapa CGI Digunakan dalam Anime jika Diperdebatkan Hasilnya?
Sebagai contoh, ada adaptasi live action dari As The Gods Will yang mengecewakan. Live action-nya memang diadaptasi hanya satu arc saja mengakibatkan akhir dari film malah digantung antara berlanjut dan berakhir di movie tersebut. Kelabilan dari akhir adaptasi dan malah menimbulkan kesan open ending inilah yang sering kali menjadi penyebab adaptasi live action itu buruk.
Adaptasi yang Terlalu Beradaptasi
Untuk mengadaptasi ke dalam live action, sutradara perlu melakukan penyesuaian adaptasi dengan pasar serta format live action. Penyesuaian di sini adalah tentang mengubah beberapa bagian baik lokasi, karakter, hingga alur cerita yang menjadikan adanya perbedaan dengan versi aslinya. Penyesuaian ini cukup penting dalam adaptasi live action. Live action yang tidak disesuaikan akan memberikan rasa bingung dan cerita yang gagal ditangkap penonton.
Walaupun penting, jika penyesuaian terlalu merubah keseluruhan adaptasi malah akan menjadikan live action buruk. Contohnya live action dari Dragon Ball, di mana hampir keseluruhan isinya berubah dan hanya menyisakan nama karakter dan jurusnya saja yang autentik. Bahkan latar belakang Goku yang seharusnya pendekar bela diri malah dijadikan anak sekolah menengah yang sering di-bully hanya karena pasar live action layar lebar pahlawan super pada saat itu menggunakan trope seperti itu. Alhasil penggemar dari serial Dragon Ball sangat kecewa dengan adaptasinya hingga tidak mengakui sebagai bagian dari franchise Dragon Ball.
Adaptasi yang Tidak Berdaptasi
Sebagai karya adaptasi, keakuratan dalam versi live action dengan versi aslinya perlu diperhatikan. Salah satu hal yang paling sering menjadi alasan buruknya adaptasi adalah karena pemeran karakternya tidak cocok. Baik dari chemistry dan vibe karakternya yang hilang dalam versi live action-nya, bahkan sampai karakteristik tokoh yang diperankan berbeda jauh.
Selain itu, live action perlu memikirkan bagaimana adaptasi visual dari sebuah gambar atau animasi ke bentuk nyata. Jika tidak, live action  bisa-bisa menampilkan naga dari sinetron lokal dan mempengaruhi kulitas penayangannya dalam layar lebar.
Perlu ditekankan, keakuratan yang terlalu dipaksakan juga tidak baik. Alih-alih memberikan impresi bagus untuk penggemar franchise-nya, bisa jadi karena terlalu “akurat” malah memberikan kesan cringe dan aneh terhadap adaptasi live action. Beberapa adaptasi live action yang menampilkan karakter berdarah Jepang tetapi bergaya rambut unik dan berwarna-warni terkadang memberikan kesan seperti seseorang ber-cosplay daripada orang berakting.
Akhir Kata
Dengan belajar dari live action One Piece kita tahu bahwa tidak ada yang tidak mungkin. Dengan prosedur dan pengelolaan yang tepat, maka mahakarya dapat tercipta. Kegagalan yang terjadi pada karya-karya sebelumnya menjadi suatu contoh dan tantangan untuk karya selanjutnya. Pengulangan kegagalan yang terlihat jelas hanyalah bukti ketidakinginan seseorang untuk menjadi lebih baik.
Itu dia rangkuman bagaimana live action anime selalu berakhir gagal di pasaran. Menurut Kanauzen, kira-kira kenapa live action anime sering gagal? Jika ada pendapat tentang adaptasi live action, jangan lupa untuk tinggalkan komentar dibawah ini! See you next time!